MENGHILANGKAN
NAJIS DAN BERWUDUK
MAKALAH
Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat
dalam Mata Kuliah Hadits Tarbawi I
DI SUSUN :
O
L
E
H
KELOMPOK:
XI
ETI SARTIKA
NIM: T.PAI.I.2014.037
ASKA WATI
NIM: T.PAI.I.2014.012
Jurusan: Tarbiah/PAI
Lokal: B/III
YAYASAN
PENDIDIKAN ISLAM SYEKH MAULANA QORI SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM
SYEKH
MAULANA QORI BANGKO
JURUSAN
TARBIYAH
2015
KATA
PENGANTAR
Segala puji serta syukur penulis haturkan
kehadirat Ilahi Rabbi yang atas limpahan rahmat, karunia, serta hidayah-Nya
jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah HADITS TARBAWI I
dengan tema “Membersihkan (Menghilangkan) Najis dan Perihal Wudhu”.
Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan keharibaan Nabi besar Muhammad SAW. karena berkat beliaulah
sehingga pada saat ini dapat merasakan indahnya Islam dan nikmatnya Iman.
Tak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada bapak Ahmad
Saupi, M.Pd.I Selaku dosen pengajar yang telah memberikan arahan yang
begitu berarti bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini. Juga kepada teman-teman yang telah membantu secara langsung atau
tidak langsung dari pengumpulan bahan hingga penyelesaian.
Tak ada gading yang tak retak, penulisan
sadari dalam penulisan ini tak akan pernah lepas dari kesalahan dan kekurangan,
maka untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan koreksi dari bapak dosen
ataupun dari teman-teman agar penulis dapat dapat lebih baik pada masa akan datang.
Akhir kata billahi taupiq wal hidayah.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb..
DAFTAR
ISI
Halaman Judul..........................................................................................................!
Kata Pengantar.........................................................................................................!!
Daftar Isi...................................................................................................................I
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................2
a.
Latar Belakang
Masalah...............................................................................3
b.
Rumusan Masalah........................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5
a.
Ruang
Lungkup Cara Menghilangkan Najis...............................................6
b.
Ruang Lingkup
Cara Berwuduk Dengan Benar...........................................7
BAB III PENUTUP................................................................................................8
a.
Kesimpulan..................................................................................................9
b.
Kritik Dan
Saran........................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................11
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Untuk
memahami tentang membersihkan atau menghilangkan najis dan perihal wudhu,
terlebih dahulu akan dijelaskan tentang pengertian thaharah. Adapun yang kita
maksudkan disini adalah menjelaskan benda-benda najis yang lawan dari
benda-benda suci. Itu ada kaitannya dengan penjelasan makna najis secara bahasa
dan istilah dalam pandapat berbagai mazhab.
Najis
dalam bahasa adalah istilah yang digunakan untuk segala yang kotor, sebagaimana
kata najis (َنجِسٌ) digunakan juga najas (نَجَسٌ) dan najs (نَجْسٌ) Para ahli fiqh (Fuqaha) membagi najis
pada dua bagian, yaitu “najis hukmi” dan “najis hakiki”. Dalam memberikan
definisi terhadap keduanya, terdapat perbedaan pendapat dalam berbagai mazhab:
ü Hanbaliah: Mereka memberikan pengertian najis
hukmi sebagai najis yang mengena pada tempat yang sebelum terkena najis ia
suci, maka ini mencakup najis mempunyai dzat dan yang tidak mempunyai dzat.
Yaitu bila najis itu melekat pada barang yang suci. Sedangkan najis hakiki
adalah dzat najis itu ssendiri (najis).
ü Syafi’iyah: Mereka mendefinisikan najis
hakiki sebagai najis yang yang mempunyai dzat (tubuh), rasa, warna dan bau. Dan
inilah yang mereka sebut sebagai najis ‘aini. Sedang najis hukmi adalah najis
yang tidak mempunyai dzat (tuubuh) rasa, warna dan bau, Seperti air kencing
tidak diketahui sifatnya maka yang demikian itu disebut dengan najis hukmi.
ü Hanafiyah: Mereka berpendapat bahwa najis
hukmi adalah hadats kecil dan hadats, hadats adalah sifat syari’ yang mengenai
sebagian anggota badan atau seluruhnya dan dapat menghilangkan kesucian.
Sedangkan najis hakiki adalah khubts, yaitu segala sesuatu yang kotor menurut
syara’.
ü Malikiyah: Mereka berpendapat bahwa najis
‘aini adalah dzat najis itu sendiri. Sedangkan najis hukmi adalah bekasnya yang
dihukumi sebagai najis pada tempat tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana cara menghilangkan najis dengan baik?
2.
Bagaimana cara bersuci atau berwuduk dengan baik?
C. Tujuan Mempelajari Tentang Suci
1. Supaya
kita bersih dari segala najis
2. Supaya
kita tenang beribadah menghadap kepada allah
3. Supaya
hidup menjadi tentram dengan adanya kita selalu berwuduk
4. Supaya
ibadah kita sah atau supaya solat kita sah dengan adanya kita bersuci dengan
baik
BAB
II
PEMBAHASAN
MENGHILANKANNAJIS
DAN PERIHAL WUDHU
A. Membersihkan Kencing
1.
Materi dan arti hadits
Dari
Ibn Abbas, katanya: “Nabi SAW berjalan melalui sebuah kebun kota Madinah atau
Mekkah, lalu terdengar oleh beliau suara dua orang manusia yang disiksa dalam
kuburnya, Nabi bersabda: “keduanya disiksa dalam kuburnya dan disiksa karena
dosa yang dianggap besar”, kemudian beliau bersabda: “yang seorang buang air
ditempat yang tidak tertutup dan yang seorang membuat fitnah yang menyebabkan
orang bermusuhan” sesudah itu beliau menyuruh untuk mengambil dua pelepah kurma
lalu dipatahnya menjadi dua dan diletakkannya di atas masing-masing kubur itu
sepotong. Ada orang bertanya: Ya Rasulullah, mengapa engkau berbuat begitu?
Nabi menjawab: “mudah-mudahan diringankan siksa kedua orang itu selama kedua
pelepah kurma itu belum kering. (HR. al-Bukhari).[1]
2. Penjelasan
Dari
hadits diatas kita di perintahkan untuk membersihkan kencing, karena kencing
termasuk najis mukhafafah bagi kencing bayi laki-laki. Cara membersihkan najis
mukhafafah cukup dengan memercikkan air pada tempat yang dikenai najis itu.
Jadi tidak perlu dibasuh secara menyeluruh. Adapun kencing anak perempuan yang
belum memakan apa-apa selain ASI, kaifiat mencucinya hendaklah dibasuh sampai
air mengalir di atas benda yang kena najis itu, dan hilang zat najis sampai
sifat-sifatnya sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.
“Sesungguhnya Ummu Qais telah datang kepada
Rasulullah SAW beserta bayi laki-lakinya yang belum makan makanan selain ASI.
Sesampainya di depan Rasulullah, beliau dudukkan anak itu dipangkuan beliau,
kemudian baliau dikencinginya, lalu beliau meminta air, lantas beliau
mempercikkan air itu pada kencing kanak-kanak tadi, tetapi beliau tidak membasuh
kencing itu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda
Rasulullah:
“Kencing
kanak-kanak perempuan dibasuh dan kencing kanak-kanak laki-laki diperciki” (HR.
Tirmidzi).[2]
Kemudian,
memerciki itu hanya cukup selama bagi tiada peroleh makanan selain dari jalan menyusu.
Adapun bila ia telah diberi makan, maka tidak ada pertikaian tentang wajib
mencucinya. Keringanan dengan cukup diperciki itu, mungkin sebabnya karena
gemarnya orang-orang buat menggendong bayi hingga sering kena kencing dan
masyaqiqah (menyiram) atau sulit buat mencucinya, diberi keringanan dengan cara
tersebut.[3]
B. Membersihkan Jilatan/Bekas Minum Anjing
1. Materi dan arti Hadits
Dari
Abu Hurairah r.a. Ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Apabila
seekor anjing minum dalam sebuah bejana milik seseorang diantara kamu, maka
basuhlah bejana itu tujuh kali (HR. al-Bukhari pada kitab Wudhu’ yang dibasuh
dengannya rambut manusia)
2. Penjelasan
Cara
mensucikannya (membersihkannya) benda-benda yang terkena najis mughaladzah
(misalnya badan, pakaian, atau bejana dijilat anjing atau kena kotoran) dapat
dilakukan dengan membasuh benda-benda itu sebanyak tujuh kali dengan air suci,
satu kali diantaranya dicampur dengan tanah (debu) yang suci.
Berdasarkan
hadits Abu Hurairah r.a. katanya:
Telah bersabda Rasulullah SAW: “Menyucikan
bejanamu yang dijilat oleh anjing ialah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali,
mula-mulanya dengan tanah”. (HR. Muslim)
Mencuci
dengan tanah maksudnya ialah mencampurkannya ke dalam air hingga menjadi keruh.
Jika ia menjilat ke dalam bejana yang berisi makanan kering, hendaklah dibuang
mana yang kena dan sekelilingnya, sedang sisanya tetap dipergunakan karena
sucinya tadi. Mengenai bulu anjing, maka yang terkuat ia adalah suci, dan tak
ada alasan mengatakannya najis.[4]
Najis
mughaladzah yakni najis yang dipandang paling berat yaitu babi, dan liur anjing
menurut sebagian ulama. Ada sebagian ulama yang memandang anjing sebagai
bintang yang tidak bernajis meskipun haram makan dagingnya.
Berbeda
dengan najis dalam tingkatan pertama dan kedua, yakni mencuci relative ringan,
yakni dengan pencucian biasa sampai hilang warna, baud an rasanya. Najis dalam
tingkatan terakhir (najis mughaladzah) harus dicuci tujuh kali dengan ketentuan
salah satu dari padanya menggunakan tanah.[5]
C. Bersuci Salah Satu Syarat Sah Shalat
1. Materi dan arti Hadits
Dari
Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda: Allah tidak akan menerima shalat
seseorang diantara kamu jika berhadats sampai ia berwudhu”. (HR. al-Bukhari
pada kitab al-Hail pada bab Fî ash-Shalâh)
2. Penjelasan
Firman Allah SWT Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Sunah
berdasarkan riwayat Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi bersabda: “Allah tidak
menerima shalat seorang diantaramu bila ia berhadats, sampai ia berwudhu’ lebih
dahulu.” (HR. Bukhari dan Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)
D. Berwudhu’ Secara Benar
1.
Materi dan arti Hadits
Artinya: Sesungguhnya Humran, Maula Utsman
Ibn Affan menerangkan bahwa dia melihat Utsman Ibn Affan meminta air untuk
berwudhu’. Lalu dituangkannya air pada kedua tangannya dan dibasuhnya tiga
kali. Kemudian dimasukkannya tagan kanannya ke dalam air lalu ia berkumur-kumur
dan memasukkannya ke hidungnya kemudian disemburkannya kembali. Sesudah itu
dibasuhnya mukanya tiga kali, dan kedua belah tangannnya hingga ke siku tiga
kali pula, kemudian disapunya kepalanya dan dibasuhnya kedua belah kakinya
hingga ke dua mata kakinya tiga kali, kemudian ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda: “Barang siapa yang berwudhu’ seperti wudhu’ku ini kemudian ia shalat
dua rakaat dan tidak berhadats, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu.” (HR. al-Bukhari pada kitab Wudhu’ bab Wudhu’ tiga kali-tiga kali)
2. Penjelasan
Humran
adalah ibnu Abbas, Maulana Ustman bin Affan. Akhir hadits tersebut adalah:
“Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku
ini kemudian ia shalat dua raka’at dan tidak berhadats, maka ia akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lewat”.
Tentang
wajib mengusap kepala, para ulama berbeda pendapat. apakah wajib mengusap
kepala ataukah sebagiannya saja, sedangkan ayat Mengandung pengertian seluruh
kepala atau sebagiannya dan dalam ayat itu menunjukan untuk meratakan dan tidak
meratakan.
Orang
yang berpendapat mengusap sebagian kepala berdasarkan riwayat Syafi’i dari
hadits Atha: bahwasanya Rasulullah berwudhu, lalu membuka sorbannya kemudian
mengusap kepalanya sebagian muka kepalanya.
Sedangkan
ulama berpendapat mengusap sebagian disempurnakan di seluruh kepala adalah
berdasarkan hadits dari Mugirah dan Jabir riwayat Muslim. Hadits ini menunjukan
berurutannya anggota-anggota wudhu tersebut. Penggunaan kata tiga kali itu
tidak menunjukan wajib, yaitu sifat yang mendapat fadhilah (keutamaan). Dalil
tidak wajibnya adalah riwayat bahwa Nabi SAW., berwudhu dua kali-dua kali
sebagaimana anggota ada yang tiga kali dan sebagainya tidak seperti itu. Dan
beliau menjelaskan dalam wudhu sekali-sekali (dalam membasuh dan mengusap) dan
bahwa Allah tidak menerima shalat kecuali dengan wudhu.[6]
Salah satu syarat membersihkan badan adalah
dengan wudhu. Yang mana istilah hukum Islam, kotoran/najis pada badan yang
harus dibersihkan khususnya sebelum shalat.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Membersihkan
atau menghilangkan najis kencing itu sama dengan cara membersihkan najis
mukhaffafah bagi bayi laki-laki. Caranya dengan membersihkan air pada tempat
yang dikenai air kencing atau najis itu. Jadi tidak perlu dibasuh secara
menyeluruh. Adapun kencing anak perempuan yang belum makan makanan apa-apa
selain ASI, kaifiat mencucinya hendaklah dibasuh sampai air mengalir diatas
benda yang kena najis itu, dan hilang dzat najis dan sifat-sifatnya.
Sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.
Mensucikan
(membersihkan) benda-benda yang terkena najis mughaladzah (misalnya badan,
pakaian, atau bejana dijilat anjing atau kena kotoran) dapat dilakukan dengan
membasuh benda-benda itu sebanyak tujuh kali dengan air suci, satu kalinya
dicampur dengan tanah (debu) yang suci.
Bersuci
merupakan syarat sah shalat karena salah satu diantara dari tiga belas rukun
shalat itu tertinggal maka tidak sah shalat seorang itu kecuali dengan
ketentuan tertetu. Berwudhu secara benar maksudnya berwudhu secara berurutan
dari niat hingga tertib.
B. Kritik Dan Saran
Kami
dari pemakalah meminta maaf jika ada kesalahan dan kehilafan baik disegi penulisan dan pemhaman yang
kurang tepat kami mohon maaf yang sebesar besarnya kepada allah kami mohon
ampun pada manusia kami mohon maaf kami akhiri wassalamualiakum wrwb.
DAFTAR
PUSTAKA
Ja’far, Abidin. 2006. Hadits
Nabawi. Banjarmasin: Antasari Prees.
Rasyid, Sulaiman. 1986. Fiqih Islam. Bandung: Sinar baru Algensindo.
Sabiq, Sayid. 1987. Fiqih
Sunah. Bandung: Al-Ma’arrif.
Nasution, Harun. 2002. Insiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Muhammad, Imam, bin Ismail. 1993. Ikhtisah Subulus Salam. Semarang: Toha Putra.
Muhammad, Maulana, Ali. 1990. The Religion of Islam. Kingsgate Read Columbus Ohio: Michigon.
[1].
Drs. H. Abidin Ja'far, Lc, MA dan M.Noor Fuady, M.Ag.
Hadis Nabaw,i (Banjarmasin: Antasari Press, 2006), h. 1-2.
[2]. H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1986), h. 21-22.
[4] . Ibid., h. 55.
5. Prof. Dr. H. Harun Nasution, Ensiklopedi Islam
Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002), h. 835.
[6] . Imam Muhammad bin Isma’il, Ihktisan
Subulus Salam, (Malang: Toha Putra, 1993), h. 30-34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar