Jumat, 22 Januari 2016

MAKALAH TENTANG MENGHILANGKAN NAJIS DAN BERWUDUK

MENGHILANGKAN NAJIS DAN BERWUDUK
MAKALAH

Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat
dalam Mata Kuliah Hadits Tarbawi I











DI SUSUN :
O
L
E
H
KELOMPOK: XI
ETI SARTIKA
NIM: T.PAI.I.2014.037
ASKA WATI
NIM: T.PAI.I.2014.012
Jurusan: Tarbiah/PAI
Lokal: B/III
YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM SYEKH MAULANA QORI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
SYEKH MAULANA QORI BANGKO
JURUSAN TARBIYAH
2015
KATA PENGANTAR


Segala puji serta syukur penulis haturkan kehadirat Ilahi Rabbi yang atas limpahan rahmat, karunia, serta hidayah-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah HADITS TARBAWI I dengan tema “Membersihkan (Menghilangkan) Najis dan Perihal Wudhu”.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan keharibaan Nabi besar Muhammad SAW. karena berkat beliaulah sehingga pada saat ini dapat merasakan indahnya Islam dan nikmatnya Iman.
Tak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Ahmad Saupi, M.Pd.I Selaku dosen pengajar yang telah memberikan arahan yang begitu berarti bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Juga kepada teman-teman yang telah membantu secara langsung atau tidak langsung dari pengumpulan bahan hingga penyelesaian.
Tak ada gading yang tak retak, penulisan sadari dalam penulisan ini tak akan pernah lepas dari kesalahan dan kekurangan, maka untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan koreksi dari bapak dosen ataupun dari teman-teman agar penulis dapat dapat lebih baik pada masa akan datang. Akhir kata billahi taupiq wal hidayah.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb..










DAFTAR ISI

Halaman Judul..........................................................................................................!

Kata Pengantar.........................................................................................................!!

Daftar Isi...................................................................................................................I

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................2

a.      Latar Belakang Masalah...............................................................................3

b.      Rumusan Masalah........................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5

a.      Ruang Lungkup  Cara Menghilangkan Najis...............................................6

b.      Ruang Lingkup Cara Berwuduk Dengan Benar...........................................7

BAB III PENUTUP................................................................................................8
           
a.      Kesimpulan..................................................................................................9

b.      Kritik Dan Saran........................................................................................10
           
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................11













BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah

Untuk memahami tentang membersihkan atau menghilangkan najis dan perihal wudhu, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang pengertian thaharah. Adapun yang kita maksudkan disini adalah menjelaskan benda-benda najis yang lawan dari benda-benda suci. Itu ada kaitannya dengan penjelasan makna najis secara bahasa dan istilah dalam pandapat berbagai mazhab.
Najis dalam bahasa adalah istilah yang digunakan untuk segala yang kotor, sebagaimana kata najis (َنجِسٌ) digunakan juga najas  (نَجَسٌ) dan najs (نَجْسٌ) Para ahli fiqh (Fuqaha) membagi najis pada dua bagian, yaitu “najis hukmi” dan “najis hakiki”. Dalam memberikan definisi terhadap keduanya, terdapat perbedaan pendapat dalam berbagai mazhab:
ü  Hanbaliah: Mereka memberikan pengertian najis hukmi sebagai najis yang mengena pada tempat yang sebelum terkena najis ia suci, maka ini mencakup najis mempunyai dzat dan yang tidak mempunyai dzat. Yaitu bila najis itu melekat pada barang yang suci. Sedangkan najis hakiki adalah dzat najis itu ssendiri (najis).
ü  Syafi’iyah: Mereka mendefinisikan najis hakiki sebagai najis yang yang mempunyai dzat (tubuh), rasa, warna dan bau. Dan inilah yang mereka sebut sebagai najis ‘aini. Sedang najis hukmi adalah najis yang tidak mempunyai dzat (tuubuh) rasa, warna dan bau, Seperti air kencing tidak diketahui sifatnya maka yang demikian itu disebut dengan najis hukmi.
ü  Hanafiyah: Mereka berpendapat bahwa najis hukmi adalah hadats kecil dan hadats, hadats adalah sifat syari’ yang mengenai sebagian anggota badan atau seluruhnya dan dapat menghilangkan kesucian. Sedangkan najis hakiki adalah khubts, yaitu segala sesuatu yang kotor menurut syara’.
ü  Malikiyah: Mereka berpendapat bahwa najis ‘aini adalah dzat najis itu sendiri. Sedangkan najis hukmi adalah bekasnya yang dihukumi sebagai najis pada tempat tersebut.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana cara menghilangkan najis dengan baik?
2.      Bagaimana cara bersuci atau berwuduk dengan baik?

C.      Tujuan Mempelajari Tentang Suci
1.      Supaya kita bersih dari segala najis
2.      Supaya kita tenang beribadah menghadap kepada allah
3.      Supaya hidup menjadi tentram dengan adanya kita selalu berwuduk
4.      Supaya ibadah kita sah atau supaya solat kita sah dengan adanya kita bersuci dengan baik

















BAB II
PEMBAHASAN
MENGHILANKANNAJIS DAN PERIHAL WUDHU

A.      Membersihkan Kencing
1.      Materi dan arti hadits
Dari Ibn Abbas, katanya: “Nabi SAW berjalan melalui sebuah kebun kota Madinah atau Mekkah, lalu terdengar oleh beliau suara dua orang manusia yang disiksa dalam kuburnya, Nabi bersabda: “keduanya disiksa dalam kuburnya dan disiksa karena dosa yang dianggap besar”, kemudian beliau bersabda: “yang seorang buang air ditempat yang tidak tertutup dan yang seorang membuat fitnah yang menyebabkan orang bermusuhan” sesudah itu beliau menyuruh untuk mengambil dua pelepah kurma lalu dipatahnya menjadi dua dan diletakkannya di atas masing-masing kubur itu sepotong. Ada orang bertanya: Ya Rasulullah, mengapa engkau berbuat begitu? Nabi menjawab: “mudah-mudahan diringankan siksa kedua orang itu selama kedua pelepah kurma itu belum kering. (HR. al-Bukhari).[1]
2.      Penjelasan
Dari hadits diatas kita di perintahkan untuk membersihkan kencing, karena kencing termasuk najis mukhafafah bagi kencing bayi laki-laki. Cara membersihkan najis mukhafafah cukup dengan memercikkan air pada tempat yang dikenai najis itu. Jadi tidak perlu dibasuh secara menyeluruh. Adapun kencing anak perempuan yang belum memakan apa-apa selain ASI, kaifiat mencucinya hendaklah dibasuh sampai air mengalir di atas benda yang kena najis itu, dan hilang zat najis sampai sifat-sifatnya sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.
 “Sesungguhnya Ummu Qais telah datang kepada Rasulullah SAW beserta bayi laki-lakinya yang belum makan makanan selain ASI. Sesampainya di depan Rasulullah, beliau dudukkan anak itu dipangkuan beliau, kemudian baliau dikencinginya, lalu beliau meminta air, lantas beliau mempercikkan air itu pada kencing kanak-kanak tadi, tetapi beliau tidak membasuh kencing itu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda Rasulullah:
“Kencing kanak-kanak perempuan dibasuh dan kencing kanak-kanak laki-laki diperciki” (HR. Tirmidzi).[2]
Kemudian, memerciki itu hanya cukup selama bagi tiada peroleh makanan selain dari jalan menyusu. Adapun bila ia telah diberi makan, maka tidak ada pertikaian tentang wajib mencucinya. Keringanan dengan cukup diperciki itu, mungkin sebabnya karena gemarnya orang-orang buat menggendong bayi hingga sering kena kencing dan masyaqiqah (menyiram) atau sulit buat mencucinya, diberi keringanan dengan cara tersebut.[3]
B.      Membersihkan Jilatan/Bekas Minum Anjing
1.      Materi dan arti Hadits
Dari Abu Hurairah r.a. Ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Apabila seekor anjing minum dalam sebuah bejana milik seseorang diantara kamu, maka basuhlah bejana itu tujuh kali (HR. al-Bukhari pada kitab Wudhu’ yang dibasuh dengannya rambut manusia)
2.      Penjelasan
Cara mensucikannya (membersihkannya) benda-benda yang terkena najis mughaladzah (misalnya badan, pakaian, atau bejana dijilat anjing atau kena kotoran) dapat dilakukan dengan membasuh benda-benda itu sebanyak tujuh kali dengan air suci, satu kali diantaranya dicampur dengan tanah (debu) yang suci.
Berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya:
Telah bersabda Rasulullah SAW: “Menyucikan bejanamu yang dijilat oleh anjing ialah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, mula-mulanya dengan tanah”. (HR. Muslim)
Mencuci dengan tanah maksudnya ialah mencampurkannya ke dalam air hingga menjadi keruh. Jika ia menjilat ke dalam bejana yang berisi makanan kering, hendaklah dibuang mana yang kena dan sekelilingnya, sedang sisanya tetap dipergunakan karena sucinya tadi. Mengenai bulu anjing, maka yang terkuat ia adalah suci, dan tak ada alasan mengatakannya najis.[4]
Najis mughaladzah yakni najis yang dipandang paling berat yaitu babi, dan liur anjing menurut sebagian ulama. Ada sebagian ulama yang memandang anjing sebagai bintang yang tidak bernajis meskipun haram makan dagingnya.
Berbeda dengan najis dalam tingkatan pertama dan kedua, yakni mencuci relative ringan, yakni dengan pencucian biasa sampai hilang warna, baud an rasanya. Najis dalam tingkatan terakhir (najis mughaladzah) harus dicuci tujuh kali dengan ketentuan salah satu dari padanya menggunakan tanah.[5]
C.      Bersuci Salah Satu Syarat Sah Shalat
1.      Materi dan arti Hadits
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda: Allah tidak akan menerima shalat seseorang diantara kamu jika berhadats sampai ia berwudhu”. (HR. al-Bukhari pada kitab al-Hail pada bab Fî ash-Shalâh)
2.      Penjelasan
Firman Allah SWT Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Sunah berdasarkan riwayat Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi bersabda: “Allah tidak menerima shalat seorang diantaramu bila ia berhadats, sampai ia berwudhu’ lebih dahulu.” (HR. Bukhari dan Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)
D.      Berwudhu’ Secara Benar
1.      Materi dan arti Hadits
Artinya: Sesungguhnya Humran, Maula Utsman Ibn Affan menerangkan bahwa dia melihat Utsman Ibn Affan meminta air untuk berwudhu’. Lalu dituangkannya air pada kedua tangannya dan dibasuhnya tiga kali. Kemudian dimasukkannya tagan kanannya ke dalam air lalu ia berkumur-kumur dan memasukkannya ke hidungnya kemudian disemburkannya kembali. Sesudah itu dibasuhnya mukanya tiga kali, dan kedua belah tangannnya hingga ke siku tiga kali pula, kemudian disapunya kepalanya dan dibasuhnya kedua belah kakinya hingga ke dua mata kakinya tiga kali, kemudian ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang berwudhu’ seperti wudhu’ku ini kemudian ia shalat dua rakaat dan tidak berhadats, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari pada kitab Wudhu’ bab Wudhu’ tiga kali-tiga kali)
2.      Penjelasan
Humran adalah ibnu Abbas, Maulana Ustman bin Affan. Akhir hadits tersebut adalah:
 “Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian ia shalat dua raka’at dan tidak berhadats, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat”.
Tentang wajib mengusap kepala, para ulama berbeda pendapat. apakah wajib mengusap kepala ataukah sebagiannya saja, sedangkan ayat Mengandung pengertian seluruh kepala atau sebagiannya dan dalam ayat itu menunjukan untuk meratakan dan tidak meratakan.
Orang yang berpendapat mengusap sebagian kepala berdasarkan riwayat Syafi’i dari hadits Atha: bahwasanya Rasulullah berwudhu, lalu membuka sorbannya kemudian mengusap kepalanya sebagian muka kepalanya.
Sedangkan ulama berpendapat mengusap sebagian disempurnakan di seluruh kepala adalah berdasarkan hadits dari Mugirah dan Jabir riwayat Muslim. Hadits ini menunjukan berurutannya anggota-anggota wudhu tersebut. Penggunaan kata tiga kali itu tidak menunjukan wajib, yaitu sifat yang mendapat fadhilah (keutamaan). Dalil tidak wajibnya adalah riwayat bahwa Nabi SAW., berwudhu dua kali-dua kali sebagaimana anggota ada yang tiga kali dan sebagainya tidak seperti itu. Dan beliau menjelaskan dalam wudhu sekali-sekali (dalam membasuh dan mengusap) dan bahwa Allah tidak menerima shalat kecuali dengan wudhu.[6]
 Salah satu syarat membersihkan badan adalah dengan wudhu. Yang mana istilah hukum Islam, kotoran/najis pada badan yang harus dibersihkan khususnya sebelum shalat.















BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
Membersihkan atau menghilangkan najis kencing itu sama dengan cara membersihkan najis mukhaffafah bagi bayi laki-laki. Caranya dengan membersihkan air pada tempat yang dikenai air kencing atau najis itu. Jadi tidak perlu dibasuh secara menyeluruh. Adapun kencing anak perempuan yang belum makan makanan apa-apa selain ASI, kaifiat mencucinya hendaklah dibasuh sampai air mengalir diatas benda yang kena najis itu, dan hilang dzat najis dan sifat-sifatnya. Sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.
Mensucikan (membersihkan) benda-benda yang terkena najis mughaladzah (misalnya badan, pakaian, atau bejana dijilat anjing atau kena kotoran) dapat dilakukan dengan membasuh benda-benda itu sebanyak tujuh kali dengan air suci, satu kalinya dicampur dengan tanah (debu) yang suci.
Bersuci merupakan syarat sah shalat karena salah satu diantara dari tiga belas rukun shalat itu tertinggal maka tidak sah shalat seorang itu kecuali dengan ketentuan tertetu. Berwudhu secara benar maksudnya berwudhu secara berurutan dari niat hingga tertib.   

B.       Kritik Dan Saran
Kami dari pemakalah meminta maaf jika ada kesalahan dan kehilafan  baik disegi penulisan dan pemhaman yang kurang tepat kami mohon maaf yang sebesar besarnya kepada allah kami mohon ampun pada manusia kami mohon maaf kami akhiri wassalamualiakum wrwb.




DAFTAR PUSTAKA


*      Ja’far, Abidin. 2006. Hadits Nabawi. Banjarmasin: Antasari Prees.
*       Rasyid, Sulaiman. 1986. Fiqih Islam. Bandung: Sinar baru Algensindo.
*      Sabiq, Sayid. 1987. Fiqih Sunah. Bandung: Al-Ma’arrif.
*      Nasution, Harun. 2002. Insiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
*      Muhammad, Imam, bin Ismail. 1993. Ikhtisah Subulus Salam. Semarang: Toha Putra.
*      Muhammad, Maulana, Ali. 1990. The Religion of Islam. Kingsgate Read Columbus Ohio: Michigon.







[1]. Drs. H. Abidin Ja'far, Lc, MA dan M.Noor Fuady, M.Ag. Hadis Nabaw,i (Banjarmasin: Antasari Press, 2006), h. 1-2.
[2]. H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1986), h. 21-22. 

3. Sayid Sabiq, Fiqih Sunah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), h. 47-48.
[4] . Ibid., h. 55.
5. Prof. Dr. H. Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002), h. 835.

[6] . Imam Muhammad bin Isma’il, Ihktisan Subulus Salam, (Malang: Toha Putra, 1993), h. 30-34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar