Makalah
Ushul FiQh
Materi
Al-Qiyas
DOSEN PEMBIMBING:
Drs, Abu bakar.
.
DISUSUN
OLEH:
1. Irma yulianti
Nim. T.Pai.1.2013.027
2. Nurul hasanah
Nim. T.Pai.I.2013.048
3.
ddDDDDBBULISTYA.2M.2mmm00
SEMESTER : 2 (Dua)
JURUSAN :
Tarbiyah
LOKAL
: B
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SYEKH
MAULANA QORI BANGKO (SMQ)
TAHUN AJARAN 2013/2014
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur marilah kita panjatkan kehadhirat Allah Swt, yang telah memberikan kita
karunia dan nikmat kesehatan, sehingga kita telah dapat menuntut ilmu di Campus
STAI SMQ BANGKO, penulisan makalah
ini sebagai tugas dari dosen agar kita menjadi mahasiswa/i yang siap terjun
kedalam masyarakat, shalawat dan salam tak lupa kita kirimkan kepada junjungan
alam yaitu muhammad sebagai rasulnya Allah, juga kepada seluruh para shahabat
dan ulama.
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah salah satu tugas untuk menambah ilmu
disamping
itu juga untuk mengembang bakat, menambah wawasan dan pengetahuan, agar bisa
menjadi mahasiswa/i yang berguna bagi Agama, Negara dan Bangsa.
Dengan
tersusunnya makalah ini penyusun menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan, demi kesempurnaan makalah ini penyusun sangat berharap perbaikan,
keritik dan saran yang sifatnya membangun apa bila terdapat kesalahan.
Demikian,
semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penyusun sendiri
umumnya Kaum Muslim Dan Muslimat, terima kasih.
Bangko, april
2014
penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................
DAFTAR ISI.......................................................................
BAB. 1.
PENDAHULUAN................................................
A. Latar Belakang..........................................................
B. Rumusan Masalah......................................................
BAB. 11.
PEMBAHASAN...................................................
A.
Pengertian
Qiyas……………………………………
B. Rukun Qiyas…….………………………………….
C. Kehujjahan Qiyas…………………………………..
D. Syarat-Syarat Qiyas………………………………..
E. ‘Illat
BAB. III.
PENUTUP.............................................................
A. Kesimpulan..................................................................
B. Daftar Pustaka.............................................................
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam
sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat manusia
mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal bahwa sumber
pelajaran islam adalah Al-Qur”an dan Sunnah yang sangat lengkap.Seperti diketahui
bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran yang bersifat pedoman pokok dan
global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi oleh Sunnah
secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh
serta berkesinambungan.Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara
bahasa berbeda pandangan, mengenai pengertiannya secara istilah muncul
belakangan, yaitu pada massa tasyri dan massa sahabat.
Ijtihad
mempunyai definisi dan mempunyai landasan serta dasar-dasar dan mempunyai hukum
dan mempunyai unsur-unsur Dilihat dari fungsinya ijtihad berperan sebagai
penyalur kretifitas pribadi atau kelompok dalam merespon peristiwa yang
dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Ijtihad juga berperan sebagai
interpreter terhadap dalil-dalil yang zhanni al-wurud atau zhanni
ad-dalalahIjtihad diperlukan untuk menumbuhkan ruh islam dan berperan sebagai
penyalur kretifitas pribadi.
B.
Rumusan Masalah
A.
Bagaimana Pengertian
Qiyas ?
B.
Apa itu Rukun
Qiyas ?
C.
Apa itu Kehujjahan
Qiyas ?
D.
Apa itu Syarat-Syarat
Qiyas ?
BAB 11
PEMBAHASAN
A.
Pengrtian Qiyas
Secara bahasa (arab) qiyas berarti
ukuran, mengatahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan suatu dengan
orang lain
yang
berarti” saya mengukur baju dengan hasta,” pengertian qiyas secara terminologi terdapat
beberapa depinisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh,sekalipun redaksinya
berbeda, tetapi mengandung pengertian yang sama. Diantaranya dikemukakan
Sadr-al-syariah (747 H/1346 M, tokoh
ushul piqh hanapi ). Menurutnya qiyas adalah,:
Memperlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebutkan
kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahsa saja.
Maksudnya, ‘illat yang ada pada satu nash sama dengan
‘illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seseorang mujtahid. Karena
kesatuan ‘illat ini, maka hukum dari kasus yang sedang dihadapi disamakan
dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut. Sekalipun terdapat perbedaan
redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul piqh klasik
dan konterporer diatas tentang qiyas, tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa
proses penatapan hukum dari awal (istbat
al-hukum
wa insya’uhu), melainkan hanya
menyingkapkan dan menjelaskan hukum-hukumnya. Penyingkapan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendala dan
teliti terhadap ‘illat dari suatu kasus yang dihadapi. Apa bila ‘illat nya sama
dengan ‘illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang
dihadapi adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.
B.
Rukun Qiyas
Para ushul ulama piqh menerapkan bahwa
rukun qiyas itu ada empat, yaitu ashl
(wadah
hukum yang di tetapkan melalui nash atau ijma’) far’u (kasus yang ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang terdapat
dan terlihat oleh mujtahid para ashl, dan hukum al-ashl (hukum yang telah
ditentukan oleh nash atau ijmak),
1. Ashl
( ), menurut ahli para ushul piqh,
merupakan objek yang telah ditetapkan
hukunnya oleh ayat al-Qur’an, hadis rosullah Saw. Atau ijmak misalnya
pengharaman wisky dengan mengqiyaskannya ke pada khamar, maka yang ashl itu adalah khamar yang telah
ditetapkan hukumnya melalui nash.
2. Far’u
( ), adalah objek yang akan
ditentukan hukumnya yang tidak ada nash
atau ijma’ yang tagas dalam menentukan hukumnya
seperti wisky dalam kasus di atas,
3. ‘Illat
(
), adalah sifat yang menjadi motiv dalam menentukan hukum, dalam kasus
khamar di atas ‘illatnya adalah
memabukkan.
4.
Hukum al-Ashl ( ), adalah
hukum syara’ yang telah ditentukan oleh nash
atau ijma’ yang akan diberlakukan kepada far’u, seperti keharaman minum khamar. Adapun hukum yang ditetapkan
pada far’u pada dasarnya merupakan
buah (hasil) dari qiyas dan karenanya tidak termasuk rukun.
C.
Kehujjahan Qiyas
Terhadap kehujjahan qiyas dalam
menetapkan hukum syara’ terhadap perbedaan pendapat ulama ushul piqh. Jumhur
Ulama ushul piqh berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau
sarana untuk mengistinbatkan hukum syara’. Bahkan dari itu, syari’ menuntut
pengamalan qiyas.Ulama Zhahiriyah, termasuk imam al-Syaukani (ahli ushul piqh)
berpendapat bahwa secara logika, qiyas
memang boleh, tetapi tetapi tidak satu nash
pun dalam ayat al-Qur’an yang menyatakan wajib melaksanakannya argumentasi ini
mereka kemukakan dalam menolak pendapat jumhur Ulama yang mewajibkan pengamalan
qiyas. Ulama Syi’ah Imamiyah dan
an-Nazzam dari muktazilah, menyatakan qiyas
tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib di amalkan, karena
kewajiban mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut
akal.para Ulama yang membolehkan qiyas sebagai
hujjah dalam qiyas itu, tetapi
menyingkap ‘illat yang ada pada suatu
kasus dan menyamakannya dengan ‘illat
yang terdapar dalam nash. Atas dasar
kesamaan ‘illat ini, hukum kasus yang
dihadapi tersebut disamakan dengan hukum yang yang telah ditentukan oleh nash.
D.
Syarat-Syarat Qiyas
Para Ulam ushul piqh mengemukakan bahwa
setiap rukun qiyas yang telah
didapatkan diatas harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qiyas dapat dijadikan dalil dalam
menetapkan hukum. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut
1. Ashl
Patokan dalam
penatapan hukum adakalanya nash dan
adakalanya ijmak’ oleh sebab itu, menurut ulama ushul piqh, apabila hukum yang
ditetapkan berdasarkan nash bisa di
qiyaskan,menurut Imam Al-Ghazali (450-505 H/805-1111M) dan Saipudi al-Amidi
(keduanya ahli piqh syafi’iyah), syarat-syarat ashl itu adalah:
a. Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung
kemungkinan di naskh-kan
(dibatalkan),
b. Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’,
c. Ashl
itu bukan merupakan far’u dari ashl lainya,
d. dalil yang mennetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus tidak bersipat umum,
e. Ashl
itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
dan
f. hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.
2.
Hukum Al-ashl
Menurut ulama
ushul piqh mengatakan bahwa syarat-syarat hukum Al-ashl adalah:
Tidak bersipat
khusus, dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada far’u misalnya, dalam sebuah riwayat dikatakan:
Kesaksian
khuzaimah sudah cukup. (H.R.Abu Daud,Ahmad
Danbal,al-hakim,al-Tirmidzi dan al-nasa’i)
Hukum al-ashl itu tidak keluar dari
ketentuan-ketentuan qiyas. Maksudnya,
suatu hukum yang ditetapkan berbeda dengan kaidah qiyas, maka hukum lain tidak boleh diqiyaskan kepada hukum itu, hal ini,Wahbah al-Zuhaili, bisa terjadi
dalam dua hal, yaitu
1. Hukum yang ditetapkan itu tidak bisa
dinalar (ghair ma’qul al-ma’na),
seperti kasus kesaksian Khuzaimah di atas,
2. Hukum itu merupakan hukum pengeculian yang
disyariatkan sejak semula, seperti adanya rukhshah
(keringan hukum)bagi musafir dalam menjama’/meng-qasar shalat atau terbuka
puasa untuk menghilangkan kesulitan atau seperti menentukan pembayaran diyat
pembuuh bagi al-aqilah (keluarga terdekat ‘ashabah pembunuh).
3.
Far’u
Para ulama ushul
piqh mengemukakan empat syarat yang harus
dipenuhi oleh Far’u, yaitu:
a. ‘Illat-nya
sama dengan ‘illat yang ada pada ashl,baik pada nya maupun pada jenisnya.
b. Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas
·
Pengertian ‘Illat
Secara
etimologi ‘illat berarti “nama bagi sesuatu yang menyebabkannya keadaan sesuatu
yang lain dengan keberadaannya” secara terminologi, terdapat beberapa depinisi
‘illat. Yaitu sebagai pengenalan bagi suatu hukum, apabila terdapat suatu
‘illat pada sesuatu, maka hukumpun ada, karena dari keberadaan ‘illat itulah
hukum itu dikenal.menurutnya, ‘illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan
penyebab adanya hukum, dalam arti adanya suatu ‘illat menyebabkan munculnya
hukum. Pada dasarnya deinisi yang dikemukan Al-Ghazali ini tidak berbeda dengan
depeisi diatas. Akan tetapi, Al-Ghazali berpendapat bahwa pengaruh ‘illat
terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus karena izin allah.
·
Macam-macam ‘illat
Para ulama ushul
piqh mengemukakan pembahagian ‘illat itu dari berbagai segi, diantaranya adalah
dari segi cara mendapatkannya an dari segi bisa atau tidaknya ‘illat itu
diterapkanpda kasus hukum lainnya. Dari segi cara mendapatkannya, ‘illat itu,
menurut ulama ushul piqh ada dua macam, yaitu al-illah al-manshushah dan
al-‘ilah al-mustanbathah. Al-‘illah
al-manshuhah adalah ‘illat yang dikandung lansung oleh nash. Sedangkan al-‘illah
al-mustanbathah adalah ‘illat yang digali oleh mujtahid nash sesuai dengan kaidah yang ditentukan dan sesuai dengan kaidah
bahasa arab.
·
Syarat-syarat ‘Illat
Para ulama ushul
piqh mengemukakan sejumlah syarat ‘illat yang dapat yang dijadikan sebagai
sifat yang menentukan suatu hukum. Diantaranya:
1. ‘Illat
itu mengandung motivasi hukum,bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum.
2. ‘illat
itu dapat diukur dan berlaku untuk semua
orang.
3. ‘illat
itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap edera manusia,karena ‘illat merupakan
pertanda adanya hukum.
·
Cara mengatahui ‘illat
Para ulama ushul
piqh menetapkan bahwa ‘illat suatu hukum dapat diketahui:
1. Melalui nash, baik ayat-ayat al-qur’an
maupun sunnah Rasullah Saw. Adakalnya ‘illat yang terdapat dalam nash itu
bersipat pasti dan adakala ‘illat itu jelas,tetapi mengandung mengandung
kemungkinan yang lain.
2. Cara kedua untuk mengatahui ‘illat suatu
hukum adalah melalui ijma’ melalui ijma’diketahui sipat tertentu yang terdapat
dalam hukum syara’ yang menjadi ‘illat hukum itu.
3. Melalui al-ima’wa al-tanbih ( ) yaitu
pernyataan sifat dengan hukum dan disebutkan dalam lapal. Tetapi ada juga ulama
ushul piqh yang menyatakan bahwa penyebutan sifat ini bisa di istinbatkan
adapun hukum yang menyertai sifat itu bisa ditetapkan melalui nash dan bisa
pula hukum yang ditetapkan melalui ijtihad.
4. Melalui al-sibr wa al-taqsim ( ) sibr adalah penelitian
dan pengujian yang dilakukan mujtahid terhadap beberapa sipat yang terdapat
dalam suatu hukum.
Adapun
taksim adalah upaya nujtahid dalam membatasi ‘illat pada satu sifat dari
beberapa sifat yang dikandung oleh suatu nash .oleh sebab itu ,dengan cara
al-sibr wa al-taqsim kemungkinan berbedanya ‘illat suatu hukum dalam pandangan orang mijtahid yang melakukannya adalah wajar
disebabkan kualitas analisis dan pengujian yang mereka lakukan.
5. Munasabah
( ), yaitu sifat nyata yang
terdapat pada suatu hukum, dapat di ukur dan dapat di nalar, merupakan tujuan
yang dikandung hukum itu, yaitu berupa pencapaian terhadap suatu kemaslahan
atau penolakan terhadap kemudaratan.
6. Cara ke enam dalam mencari ‘illat adalah
melalui tanqih al-munat’ah, ( ) yaitu upaya seorang
mujtahid dalam menentukan ‘illat dari berbagai sipat yang di jadikan ‘illat
oleh syari’ dalam berbagai hukum
7. Al-Thard
, ( ) yaitu penyertaan hukum dengan sipat tampa
adanya kerasian antara keduanya
·
Pembahagian qiyas
Para
ulama ushul piqh mengemukakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi
yaitu.
1. Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang
terdapat pada furu’ dibandingkan dengan yang terdapat pada ashl.dari segi ini
qiyas dibagi ketiga bentuk.
a. Qiyas
al-aula’wi (
), yaitu qiyas yang hukumnya pada furu’lebih
kuat daripada hukum ashl, karena ‘illat yang terdapat pada furu’ lebih kuat
dari yang ada pada ashl,misalnya, mengqiyaskan memukul kepada ucapan “ah”
b. Qiyas
al-musa’wi ( ),
yaitu hukum pada furu’ sama kualitasnya
dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya
juga sama.
c. Qiyas
al-adna ( ),
yaitu ‘illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan ‘illat yang
ada pada ashl.artinya, ikatan ‘illat yang ada pada furu’ sangat lemah
dibandingkan ikatan ‘illat yang ada pada ashl.
2. Dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat
pada hukum,qiyas dibagi kepada dua macam.
a. Qiyas
al-jaliy ( ),
yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan oleh nash tidak menetapkan ‘illatnya,
tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu’
b. Qiyas
al-khafyi ( ),
yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak
disebutkan dalam nash.
3. Dilihat dari kerasian ‘illat dengan
hukum, qiyas terbagi dua bentuk,
a. Qiyas
al-mu’atstsir ( ),yaitu
qiyas yang menjadi penghubung antara ashl dengan furu’ ditetapkan melalui nash
sharih atau ijmak atau qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan
ashl dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu sendiri.
b. Qiyas
al-mulaim ( ),
yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashlnya
mempunyai hubungan yang serasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dapat
kita uraikan bahwa qiyas menurut secara
bahasa (arab) qiyas berarti ukuran, mengatahui ukuran sesuatu, membandingkan
atau menyamakan suatu dengan orang lain
yang berarti” saya mengukur baju dengan hasta,” pengertian qiyas secara terminologi
terdapat beberapa depin Para ushul ulama piqh menerapkan bahwa rukun qiyas itu
ada empat, yaitu ashl (wadah hukum yang di tetapkan melalui nash atau ijma’)
far’u (kasus yang ditentukan hukumnya), ‘illat
(motivasi hukum) yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid para ashl, dan hukum
al-ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash
atau ijmak), isi yang dikemukakan
para ulama ushul fiqh,sekalipun redaksinya berbeda,
DAFTAR
PUSTAKA
Nasrun haroen.jakarta logos publishing house.ciputat,1996.ushul piqh
Prop.dr.abdul wahab khalaf.gema risalah press.1388H.1968 M.ushul piqh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar