BAB
II
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN
ISLAM PADA SEKOLAH UMUM
A. Faktor Faktor Eksternal Sekolah
Faktor
faktor eksternal ini meliputi :
1. Timbulnya
sikaf orang tua di beberapa lingkungan sekitar sekolah yang kurang menyadari
tentang pentingnya pendidikan agama, tidak mengacuhkan akan pentingnya
pemantapan pendidikan agama disekolah yang berlanjut dirumah. Orang tua yang
bersikap demikian disebabkan oleh dampak kebutuhan ekonomisnya yang mendorong
bekerja 20 jam diluar rumah, sehingga mereka menyerahkan sepenuhnya kepada
sekolah untuk mendidik anak anaknya 2 jam perminggu. [1]
2. Situasi
lingkungan sekitar sekolah dipengaruhi godaan-godaan setan dalam berbagai ragam bentuknya, antara
lain godaan judi, tontonan yang bernada menyenangkan nafsu seperti permainan
ketangkasan berhadiah, dan lain lain. Situasi demikian melemahkan daya
konsentrasi berpikir dan berakhlak mulia, serta mengurangi gairah belajar,
bahkan mengurangi daya saing dalam meraih kemajuan.
3. Adanya
gagasan baru dari para ilmuan untuk mencari terobosan baru terhadap berbagai
macam problema pembangunan dan kehidupan remaja, menyebabkan para pelajar
secara latah mempraktekkan makna yang keliru atas kata kata terobesan menjadi
mengambil jalan pintas dalam mengejar cita citanya tanpa melihat cara cara yang
halal dan haram, misalnya budaya menyontek, membeli soal soal ujian akhir
dengan harga tinggi, perolehan nilai secara aspal, bahkan ada yang menghalalkan
cara apapun , seperti doktri komunisme.
4. Timbulnya
sikaf frustasi dikalangan orang tua yang beranggapan bahwa tingginya tingkat
pendidikan, tidak akan menjamin anaknya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,
sebab perluasan lapangan kerja tidak dapat mengimbangi banyaknya pencari kerja.
Setelah tamat sekolah, orang tua harus
berusaha payah mencari pekerjaan bagi anaknya. Disana sini penuh dengan beban
finansial yang masih harus ditanggung oleh mereka.
Semua itu menyebabkan tendensi sosial kita
kurang menghargai pengatahuan sekolah yang tidak dapat dijadikan tumpuan
mencari nafkah, sementara persaingan semakin mendekat dalam perebutan lapangan
kerja yang menjanjikan penghasilan yang lebih memadai kebutuhan hidup.
Pendidikan agama terkena dampak negatif dari
sikaf yang kecenderungan semacam itu, sehingga apabila guru agama tidak
terampil memikat minat murid, maka efektifitas pendidikan agama tak akan dapat
diwujudkan.
5. Serbuan
dampak kemajuan ilmu dan teknologi dari luar negeri{ jepang, amerika, jerman
barat, inggris, dan prancis}, semakin melunturkan prasaan religius{ keagamaan}
dan melebarkan kesenjangan antara nilai traisional dengan nilai rasional
teknologis, menjadi sumber transisi nilai yang belum menentukan arah dan
pemukiman yang baru.
Sementara
itu, teknologi pendidikan atau pendidikan teknologi telah menyerbu kedalam
bangku sekolah kita, yang membawa dampak negatif disamping dampak fositifnya.
Sikaf
murid untuk mengambil terobosan dalam kesulitan berpikir yang kreatif dan
analistis, ditempuh melalui mesin mesin berpikir yang disebut komputer,
kalkulator, dan robot robot yang berpikir lebih cepat dari manusia, adalah
beberapa contoh oreantasi belajar yang tidak mendorong ke arah pencerdasan
generasi muda kita, sistemitisasi belajar atas efiensiensi yang tinggi di
samping mengandung dampak positif bagi percepatan output lulusan sekolah, juga
terdapat dalam negatifnya.
Produksi
pendidikan sekolah yang dicapai dalam waktu relatif singkat dengan dana yang
seminimal mungkin, namun berhasil meluluskan sejumlah murid yang lebih besar,
adalah suatu contoh penerapan efiensi industrial teknologis yang kurang mengacu
pada kaidah umum perkembangan berdasarkan tempo dan kesatuan organis serta
hukum konvergensis.
Tiap
murid mempunyai corak dan potensi dasar berkembang yang tidak sama dengan murid
lainnya. Sedangkan untuk penerapan efisiensi pendidikan tersebut tidak disediakan
dengan sempurna input instrumental sekolah itu.
B. Faktor Faktor Internal Skolah
Perangkat input
intsrumen yang kurang sesuai dengan tujuan pendidikan menjadi sumber kerawanan
karena:
1.
Guru kurang
kompetensi untuk menjadi tenaga fropesional pendidikan dan jabatan guru yang
disandangnya hanya merupakan pekerjaan alternatif terakhir, tanpa menekuni
tugas sebenarnya selaku guru yang berkualitas atau ada tanpa rasa dedikasi
sesuai tuntunan pendidikan.
2.
Penyalah gunaan
manajemen penempatan yang mengalih tugaskan guru agama ke bagian administrasi,
seperti perfustakaan misalnya, atau pekerjaan non guru. Akibatnya pendidikan
agama tidak dilaksanakan secara frogramatis.[2]
3.
Pendekatan
metodologi guru masih berpaku kepada oriantasi tradisonali, sehingga tidak
mampu menarik minat murid pada pelajaran agama.
4.
Kurang rasa
solidaritas antar guru agama dengan guru guru bidang studi umum, sehingga
timbul sikap memencilkan guru agama, yang mengakibatkan pelaksanaaan pendidikan
agama tersendat sendat dan kurang terpadu.
5.
Kurangnya waktu
persiapan guru agama dalam mengajar karena disibukkan oleh usaha non-guru untuk
mencukupi kebutuhan ekonomis sehari hari atau mengajar disekolah sekolah
swasta, dan sebagainya.
6.
Kurikulum yang
terlalu padat, karena terlalu banyak menampung keinginan tanpa mengarahkan
prioritas.
7.
Hubungan guru
agama dengan murid hanya bersifat formal, formal tanpa berkelanjutan dalam
situasi informal diluar kelas. Wibawa guru juga hanya terbatas didalam dinding
kelas, tanpa berpengaruh diluar kelas/sekolah.
8.
Petuga
supervisi{pengawas dan penilik} tak berfungsi sesuai harapan, karena terdiri
atas tenaga yang non fropesional yang farkir, menunggu pensiun.
9.
Dan lain lain
problema pendidikan yang berkembang dilingkungan lembaga lembaga pendidikan
islam, seperti pondok pondok pesantren dan madrasah dalam segala jenisnya.
Dilingkungan
lembaga pendidikan islam problema saat ini pada dasarnya berkisar pada
kurangnya keahlian dalam manajemen, kualitas guru yang kompeten, oriantasi
pendidkan yang sepenuhnya mengacu pada kebutuhan pembangunan masa kini dan
mendatang, serta fasilitas yang belum memadai {hal ini menjadi gejala umum
dinegara negara sedang membangun}.
10. Belum
mantapnya landasan perundangan yang menjadi dasar berpijaknya pengelolaan
pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional, termasuk pengelolaan lembaga
lembaga pendidikan islam.
11. Pemerataan
memperoleh pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat masih perlu diinsifkan
lagi melalui pendekatan integralistik yang lebih menekankan pada kualitas dari
pada kualitas, sejak pendidikan pradasar sampai pendidikan tingkat tinggi
karena tuntunan pembangunan masa depan semakin memerlukan manusia yang
berkualitas tinggi, baik dalam ilmu pengatahuan maupun dalam sikaf mental diman
iman dan taqwa menjadi sumber pendorongnya yang utama .
C. Pola Pemecahan Problema Kependidikan Islam
Problema dinegeri kita yang sedang
membangun yang menyangkut tiga faktor :
1. Faktor
idiil yang melandasi pelaksanaan pendidikan islam, al-quran dan al-hadist
memerlukan interprestasi baru dari para pakar muslim yang memusatkan
perhatiannya pada kemajuan pendidikan islam.
Suatu
interprestasi baru yang beroriantasi pada ketiga kemampuan dasar manusia, yitu
kognitif, efektif, dan psikomotorik, atau kemampuan yang bermukim kepada dada
dan tangan serta akibat dan hasil hasilnya, disamping itu terjalinnya antara
nilai nilai kepribadian bangsa dan nilai syahksiyah al-islamiayyah lebih
berkokoh lagi, sehingga mewujudkan wanita muslim yang fancasila sejati.
Konsep
manusia seutuhnya menurut pandangan islam yang mengacu kedalam falsafah
fancasila perlu dipolakan secara jelas dan selaras, sehingga tidak menimbulkan
konflik konflik batiniah yang berakibat pada diserionted personality yang diplastis.
2. Faktor
struktural kelembagaan pendidikan islam yang telah eksis dalam masyarakat,
perlu dilakukan inovasi yang benar benar dapat mendukung tujuan pendidikan
nasional.
Tujuan
pendidikan, metode dan isinya dipersegar sedemikian rupa, sehingga mampu
menarik minat anak didik tanpa mengurangi prinsip prinsip ajaran dari sumber
pokok islam. Kelenturan dari kelembagaan dari struktur pendidikan islam,
seperti pesantren dan madrasah sebagai ciri khas indonesia, memiliki oriantasi
ke arah faktor idiil tersebut diatas.
Bukan
hanya pesantern plus sekolah umum atau madrasah plus pengatahuan umum, seperti
yang telah dianut oleh umat islam di beberapa lingkungan mayarakat, tetapi
suatu model pesantren yang berfungsi ganda, ia merupakan sosial keagamaan islam
yang berfungsi sebagai pusat pembina mental agama masyarakat lain. [3]
Sebagai
lembaga pendidikan agama islam, ia berfungsi sebagai fusat kebudayaan umat
melalui agama islam dilingkungannya yang dinamis dan aspiratif terhadap
tuntunan kemajuan lahiriah dan batiniah, disamping itu, SKB tiga manteri tahun
1975 perlu ditingkatkan menjadi undang undang yang integratif dengan undang
undang tentang sistem pendidikan nassional. Sedangkan pesantern diberi
kebebasan berkembang dalam ruang lingkup pola pendidikan nasional.
3. Faktor
teknis operasional pendidikan agama disemua jenjang pendidikan umum perlu lebih
diaktualisasikan kedalam proses yang integralistik dengan pendidikan intlektual
dan ketrampilan, sehingga terwujud keserasian dan keselarasan dalam pencapaian
tujuan pendidikan nasional. Untuk itu, kerja sama antara pelaksana disekolah
perlu ditingkatkan lagi, terutama dalam kegiatan belajar mengajar. Strategi
pendidikan disekolah sekolah tegnologi yang programnya lebih tegnologis dan
eksak perlu lebih intensif diimbangi dengan pendidikan yang lebih moralis dan
sisoalistis agamis tanpa menghilangkan ciri ciri kejujurannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
H.
Drs. Djmaludin dan aly abdullah, kapita selekta pendidikan islam, bandung : CV
pustaka setia, 1998.
[1] .Drs. H. Djamaludin Dan Abdullah
Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
Bandung : CV Pustakaan Setia,1998 Hlm. 18
[2] . Drs.
H. Djamaludin Dan Abdullah Aly, Kapita
Selekta Pendidikan Islam, Bandung : CV Pustakaan Setia,1998 Hlm. 20
[3]
. Drs. H. Djamaludin Dan
Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan
Islam, Bandung : CV Pustakaan Setia,1998 Hlm. 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar