MAKALAH
“FIQIH ‘IBADAH”
“PERNIKAHAN”
DOSEN
PENGAMPU : Abdul, khadir,S,pd.I.
Disusun
O
L
E
H
Nomor urut:
HINDUN
Nim:T.PAI.2013.008
Lokal:II B
Jurusan:tarbiyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
SYEKH MAULANA QORI BANGKO
TAHUN AKADEMIK 2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjat kehadirat alloh
SWT , yang telah memberikan kita kesempatan sehingga kita semua sempat
merasakan ni’mat kesehatan dan kesempatan, semoga kita semua mendapatkan
lindungan dari jua alloh SWT.
Sholawat dan salam juga tak henti-hentinya
kita ucapkan solawat kepada beliau, yang mana kita tahu beliau adalah promotor
umat yang berhasil membawakan kita ke alam yang penuh ilmu pendidikan, seperti
yang kita rasakan padasa’at sekarang ini. Solawat nya yang berlapas…
اللهم صلى على محمد وعلى ال محمد
Dengan adanya
pembacaan solawat mudamudahan nabi membantukan kita baik pada saat tiian sirotul mustakim maupun
pada saat hisab atau perhitungan amal kita waktu masih dunia baik amal yang
bagus atau tidak bagus.
DAFTAR
ISI
Halaman
judul..........................................................................................!
Kata
pengantar.........................................................................................!!
Daftar
isi...................................................................................................I
BAB
I PENDAHULUAN.......................................................................2
A.
Latar
belakang
masalah......................................................................3
B.
Rumusan
masalah...............................................................................4
BAB
II PEMBAHASAN........................................................................5
A.Pengertian pernikahan dan meminang............................... .................6
B.rukun akad nikah dan saksi dalam akad
nikah......................................7
C.susunan wali dan syrat wali
.................................................................8
BAB III PENUTUP.................................................................................9
A.Kesimpulan.........................................................................................10
B.Kritik
dan saran................................................................. ................11
DAFTAR
PUSTAKA...........................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
masalah
Apabila kita berbicara tentang
pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari dua buah sisi. Dimana pernikahan merupakan sebuah perintah agama.
Sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya jalan penyaluran sexs yang disah kan
oleh agama.dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan
pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan
perintah agama, namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologis nya
yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Sebagaimana kebutuhan lain nya dalam
kehidupan ini, kebutuhan biologis sebenar nya juga harus dipenuhi. Agama islam
juga telah menetapkan bahwa stu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis
manusia adalah hanya dengan pernikahn, pernikahan merupakan satu hal yang
sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah
pernikahan ini. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata
juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha
B.
Rumusan Masalah
a. penertian pernikahan
b. pengertian meminang
c. rukun akad nikah
d. saksi dalam akad nikah
e. susunan wali
f. syarat wali
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pernikahan
Perkahwinan atau nikah menurut bahasa ialah
berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki
dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah,
menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di
dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud
perkahwinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan,
menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina.
Adapun nikah menurut syari’at nikah juga
berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja. Islam
adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan.
Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan
tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah
tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi
sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari
mulai bagaimana mencari kriteria calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana
memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya.
Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang
meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang
sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah yang singkat ini
insyaallah kami akan membahas perkawinan menurut hukum islam.
Pernikahan adalah sunnah karuniah yang
apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak
mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karna tidak mengikuti sunnah rosul.
Arti dari pernikahan disini adalah
bersatunya dua insane dengan jenis berbeda yaitu laki-laki
dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad. Suatu
pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah mawaddah
warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang solihah. asi bagi orang tuanya.
B.
Pengertian
Meminang
Maminang dalah pernyataan seorang
meminta kesediaan seorang wanita untuk menjadi istrinya orang yang dipercaya.
Hal itu diperbolehkan dalam Meminang juga bisa dilakukan dengan jalan kiasan
(sindiran) jika wanita yang di pinang dalam iddah ba' in (yakni masa menunggu
seorang wanita setelah dijatuhkan talaq ketiga talaq ba’in n suaminya). Juga bisa dilakukan
terhadap wanita dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya. Mengutarakan keinginan
dengan bahasa kiasan adalah sebagai sopan-santun Islam menjaga perasaan seseorang. Allah berfirman
yang artinya:
"Tidak ada dosa bagimu
meminang wanita itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan keinginanmu dalam
hati. Allah mengetahui bahwa akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi
janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia,
kecuali sekadar mengucapkan kata-kata (sindiran) yang baik. Dan janganlah kamu
menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya." (QS. 2/Al-Baqoroh:
235).
Wanita yang
haram dipinang, ialah yang masih dalam iddah roj’iyah (yakni masa menunggu bagi
seorang wanita setelah dijatuhkan talaq pertama atau kedua oleh suaminya),
karena masih hak pria yang menceraikannya. Dalam pengertian bahwa mantan
suaminya itu masih berhak kembali kepadanya. Juga haram meminang wanita yang
sedang dipinang orang lain. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Orang
mukmin dengan orang mukmin adalah bersaudara, maka tidak halal bagi seorang
mukmin meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh saudaranya. Sampai
nyata-nyata sudah ditinggalkannya.
Sebelum meminang
seorang wanita, pihak pria boleh melihatnya lebih dulu. Ketika Mughiroh bin
Syu'bah berkeinginan untuk menikahi seorang wanita, Muhammad Rosulullah saw.
bersabda kepadanya: "Pergilah melihat wanita itu, karena dengan melihatnya
akan memberikan jaminan bagi kelangsungan hubunganmu berdua. Mughiroh melaksanakan
perintah itu, lalu menikahinya.
Jelaslah bahwa jika
saudara ingin menikahi seorang wanita, memang harus betul-betul mengenal
profilnya. Tidak terbatas pada rupa dan bentuk lahiriyahnya saja. Namun yang
paling penting adalah watak/karakter dan perilakunya sehari-hari. Sebab dengan
begitu saudara akan tahu, kelebihan dan kelemahan si wanita tersebut. Kemudian
saudara pertimbangkan secara matang, lebih banyak mana sisi positifnya
dibandingkan dengan sisi negatifnya. Lalu seandainya saudara memutuskan tetap
menikahinya sanggupkah saudara menerima segala kekurangannya, sekaligus
mampukah saudara membimbingnya. Itulah yang dimaksud dalam anjuran Rosulullah
saw. "Pergilah melihat (mengenali) wanita,itu". Dalam meminang seorang
wanita, pria hendaknya menjauhi empat hal.
1. Janganlah menikahi orang-orang Musyrik,
sebagaimana ditegaskan dalam Surat Al-Baqoroh ayat 221 yang telah dikutip di atas.
2. Janganlah menikahi wanita karena hartanya.
Muhammad Rosulullah saw. bersabda “Janganlah engkau nikahi wanita karena
kecantikannya, karena ia hanya akan sibuk mengurus kecantikannya. Jangan pula
engkau nikahi karena hartanya, karena harta kekayaannya membuatnya beringas dan
kejam kepadanya. Tapi nikahilah karena agamanya, atau juga budak wanita yang
memiliki agama.
3.
Janganlah menikahi wanita karena kebangsawanannya. Muhammad Rosulullah saw.
bersabbda, “Barang siapa menikahi seorang wanita karena hartanya dan
kecantikannya, niscaya Allah akan melenyapkan harta dan kecantikannya. Dan
barang siapa yang menikahi seorang wanita karena agama, niscaya Allah akan
memberi karunia kepadanya berupa harta dan kecantikan.
C.
Rukun akad nikah
Rukun Nikah dalam Islam ada tiga:
1. Adanya kedua mempelai yang tidak memiliki penghalang keabsahan nikah
seperti adanya hubungan mahram
dari keturunan, sepersusuan atau semisalnya. Atau pihak laki-laki adalah orang
kafir sementara wanitanya muslimah atau semacamnya.
2. Adanya
penyerahan (ijab), yang diucapkan wali atau orang yang menggantikan posisinya
dengan mengatakan kepada (calon) suami, 'Saya nikahkan anda dengan fulanah'
atau ucapan semacamnya.
3. Adanya
penerimaan (qabul), yaitu kata yang diucapkan suami atau ada orang yang
menggantikan posisinya dengan mengatakan, 'Saya menerimnya.' atau semacamnya.
Adapun
syarat-syarat sahnya nikah adalah:
1.
Masing-masing kedua mempelai telah ditentukan, baik dengan isyarat, nama atau
sifat atau semacamnya.
2.
Kerelaan kedua mempelai. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
لا تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى
تُسْتَأْمَرَ وَلا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا، قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
(رواه البخاري، رقم )
Artinya :“Al-Ayyimu (wanita yang pisah dengan suaminya karena meninggal
atau cerai) tidak dinikahkan mendapatkan perintah darinya (harus diungkapkan
dengan jelas persetujuannya). Dan gadis tidak
dinikahkan sebelum diminta persetujuannya (baik dengan perkataan atau diam).
Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana persetujuannya?' Beliau
menjawab, 'Dia diam (sudah dianggap setuju)." (HR. Bukhori, )
3. Yang
melakukan akad bagi pihak wanita adalah walinya. Karena dalam masalah nikah
Allah mengarahkan perintahnya kepada para wali.
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB ÇÌËÈ
Artinya
:‘Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara
kamu" (QS. An-Nur: 32)
Juga berdasarkan sabda Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ
بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
(رواه الترمذي، رقم 1021 وغيره وهو حديث صحيح)
Artinya “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin
dari walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya
batal." (HR. Tirmizi, no. 1021)
D. Saksi dalam
akad nikah.
Berdasarkan
sabda Nabi sallahu’alaihi wa sallam,
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
وَشَاهِدَيْن
(رواه الطبراني، وهو في صحيح الجامع )
Artinya:“Tidak (sah) nikah kecuali dengan kehadiran
wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadits ini juga terdapat dalam kitab
Shahih Al-Jami’,)
Sangat
dianjurkan mengumumkan pernikahan. Berdasarkan sabda Rasulullah
sallallahu’alaihi wa sallam, "Umumkanlah pernikahan kalian’ (HR. Imam
Ahmad. Dihasankan dalam kitab Shahih Al-Jami’, . ).
Adapun
syarat untuk wali, sebagai berikut:
1.
Berakal.
2.
Baligh.
3.
Merdeka (bukan budak).
4.
Kesamaan
agama. Maka tidak sah wali kafir untuk orang Islam laki-laki dan perempuan.
Begitu pula tidak sah perwalian orang Islam untuk orang kafir laki-laki atau perempuan.
Adapun orang kafir menjadi wali bagi wanita kafir adalah, meskipun berbeda
agamanya. Dan orang yang keluar dari agama (murtad) tidak bisa menjadi wali
bagi siapapun.
5.
Adil,
bukan fasik. Sebagian ulama menjadikan hal ini sebagai syarat, tapi sebagian
lain mencukupkan dengan syarat sebelumnya. Sebagian lagi mencukupkan syarat
dengan kemaslahatan bagi yang diwalikan untuk menikahkannya.
6.
Laki-laki.
Berdasarkan sabda Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam,
لا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ
الْمَرْأَةَ وَلا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ
الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا(
رواه ابن ماجة، رقم1782 )
Artinya
:“Wanita tidak (dibolehkan) menikahkan wanita lainnya.
Dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Karena wanita pezina adalah
yang menikahkan dirinya sendiri." (HR. Ibnu Majah, no. 1782.
Hadits ini terdapat dalam Shahih Al-Jami, no. 7298)
7. Bijak, yaitu orang yang mampu mengetahui
kesetaraan (antara kedua pasangan) dan kemaslahatan pernikahan.
Para wali harus berurutan menurut
ahli fiqih. Maka tidak dibolehkan melewati wali terdekat, kecuali jika wali
terdekat tidak ada atau tidak memenuhi syarat. Wali seorang wanita adalah
bapaknya, kemudian orang yang diwasiatkannya untuk menjadi walinya, lalu kakek
dari bapak sampai ke atas, lalu anak laki-lakinya, lalu cucu sampai ke
bawah. Kemudian saudara laki-laki sekandung, berikutnya saudara laki-laki
seayah, kemudian anak dari keduanya. Kemudian paman sekandung, lalu paman
sebapak, kemudian anak dari keduanya. Kemudian yang terdekat dari sisi
keturunan dari asobah seperti dalam waris. Kemudian penguasa muslim (dan orang
yang menggantikannya seperti Hakim) sebagai wali bagi yang tidak mempunyai
perwalian. Wallahu’alam .
E. Susunan
wali
Bapa
kandung
Ø Datuk sebelah bapa ke atas
Ø Saudara lelaki seibu sebapa
Ø Saudara lelaki sebapa
Ø Anak saudara lelaki seibu sebapa
Ø Anak saudara lelaki sebapa
Ø Anak lelaki kepada anak saudara
lelaki seibu sebapa
Ø Anak lelaki kepada anak saudara
lelaki sebapa
Ø Bapa saudara sebelah bapa seibu
sebapa
Ø Bapa saudara sebelah bapa sebapa
Ø Datuk saudara sebelah bapa seibu
sebapa dengan datuknya
Ø Datuk saudara sebelah bapa sebapa
dengan datuknya
Ø Moyang saudara sebelah bapa seibu
sebapa dengan moyangnya
Ø Moyang saudara sebelah bapa sebapa
dengan moyangnya
Ø Anak lelaki bapa saudara sebelah
bapa seibu sebapa (sepupu lelaki)
Ø Anak lelaki bapa saudara sebelah
bapa sebapa (sepupu lelaki)
Ø Cucu lelaki bapa saudara sebelah
bapa seibu sebapa
Ø Cucu lelaki bapa saudara sebelah
bapa sebapa
Ø Anak datuk saudara sebelah bapa
seibu sebapa dengan
Ø Datuknya.
Ø Anak saudara sebelah bapa sebapa
dengan datuknya
Ø Wali Hakim / Wali Raja / Wali Sultan
F.
SYARAT
WALI
Ø Islam
Ø Lelaki
Ø Baligh
Ø Berakal
Ø Merdeka
Ø Adil (tidak fasiq)
Ø Tidak dipaksa
Ø Bukan
dalam ihram
Ø Bukan
dungu/safih
BAB,III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan yaitu:sebagaiberikut
:
1. Perkawinan dalam islam
adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang mengikat antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang tujuannya adalah untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan secara suka rela.
2. Hukum perkawinan menurut pandangan islam yaitu
Wajib, Sunat, Wajib, MakruhdanHaram.
3. Tujuan dan hikmah perkawinan dalam pandangan
islam yaitu Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi, Untuk
Membentengi Ahlak Yang Luhur, Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami, Untuk
Meningkatkan Ibadah Kepada Allah serta Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih.
4. Cara –cara perkawinan yang sah menurut hokum
islam yaitu Khitbah (Peminangan), Aqad Nikah dan Walimah.
B. Kritik Dan Saran
Dari beberapa Uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta kekeliruan,
baik disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan kritik dan sarannya untuk
memperbaiki segala keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya
salah dan lupa.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Rafi Baihaqi, Ahmad, Membangun Surga
Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah press, 2006)
Ø At-tihami,
Muhammad, Merawat Cintah Kasih Menurut Syriat Islam, (surabayh : Ampel Mulia,
2004)
Ø Muhammad ‘uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita,
(Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998)
Ø Syaikh Kamil
Muhammad ‘uwaidah, Fiqih Wanita,
(Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998) hal.
375
Ø Ahmad Rafi
Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah press, 2006)
hal. 8
Ø Syaikh Kamil
Muhammad ‘uwaidah, Fiqih Wanita,
(Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998) hal.
378
Ø Ahmad Rafi
Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah press, 2006)
hal. 10-12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar