Jumat, 22 Januari 2016

MAKALAH USUL FIQH TENTANG QIYAS


Makalah
Ushul FiQh
Materi
Al-Qiyas
DOSEN PEMBIMBINGDrs, Abu bakar.
                                                  .  
DISUSUN OLEH:
1.      Irma yulianti
Nim. T.Pai.1.2013.027
2.      Nurul hasanah
Nim. T.Pai.I.2013.048
3.      ddDDDDBBULISTYA.2M.2mmm00
SEMESTER       :  2 (Dua)
JURUSAN         :  Tarbiyah
LOKAL              : B
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SYEKH MAULANA QORI BANGKO (SMQ)
TAHUN  AJARAN 2013/2014



KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadhirat Allah Swt, yang telah memberikan kita karunia dan nikmat kesehatan, sehingga kita telah dapat menuntut ilmu di Campus STAI SMQ BANGKO, penulisan makalah ini sebagai tugas dari dosen agar kita menjadi mahasiswa/i yang siap terjun kedalam masyarakat, shalawat dan salam tak lupa kita kirimkan kepada junjungan alam yaitu muhammad sebagai rasulnya Allah, juga kepada seluruh para shahabat dan ulama.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah salah satu tugas untuk menambah ilmu
disamping itu juga untuk mengembang bakat, menambah wawasan dan pengetahuan, agar bisa menjadi mahasiswa/i yang berguna bagi Agama, Negara dan Bangsa. 
Dengan tersusunnya makalah ini penyusun menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan, demi kesempurnaan makalah ini penyusun sangat berharap perbaikan, keritik dan saran yang sifatnya membangun apa bila terdapat kesalahan.
Demikian, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penyusun sendiri umumnya Kaum Muslim Dan Muslimat, terima kasih.

                                                                                    Bangko,         april  2014
               
                     penyusun



           
DAFTAR ISI
            KATA PENGANTAR........................................................
            DAFTAR ISI.......................................................................
            BAB. 1. PENDAHULUAN................................................
A.    Latar Belakang..........................................................
B.     Rumusan Masalah......................................................
BAB. 11. PEMBAHASAN...................................................
A.    Pengertian Qiyas……………………………………
B.     Rukun Qiyas…….………………………………….
C.     Kehujjahan Qiyas…………………………………..
D.    Syarat-Syarat Qiyas………………………………..
E.     ‘Illat
BAB. III. PENUTUP.............................................................
A.    Kesimpulan..................................................................
B.     Daftar Pustaka.............................................................





PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat manusia mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal bahwa sumber pelajaran islam adalah Al-Qur”an dan Sunnah yang sangat lengkap.Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran yang bersifat pedoman pokok dan global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi oleh Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa berbeda pandangan, mengenai pengertiannya secara istilah muncul belakangan, yaitu pada massa tasyri dan massa sahabat.
Ijtihad mempunyai definisi dan mempunyai landasan serta dasar-dasar dan mempunyai hukum dan mempunyai unsur-unsur Dilihat dari fungsinya ijtihad berperan sebagai penyalur kretifitas pribadi atau kelompok dalam merespon peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang zhanni al-wurud atau zhanni ad-dalalahIjtihad diperlukan untuk menumbuhkan ruh islam dan berperan sebagai penyalur kretifitas pribadi.
B.     Rumusan Masalah
A.    Bagaimana Pengertian Qiyas ?
B.     Apa itu Rukun Qiyas ?
C.     Apa itu Kehujjahan Qiyas ?
D.    Apa itu Syarat-Syarat Qiyas ?


BAB 11
PEMBAHASAN
A.    Pengrtian Qiyas
Secara bahasa (arab) qiyas berarti ukuran, mengatahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan suatu dengan orang lain                                                              yang berarti” saya mengukur baju dengan hasta,” pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa depinisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh,sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung pengertian yang sama. Diantaranya dikemukakan Sadr-al-syariah  (747 H/1346 M, tokoh ushul piqh hanapi ). Menurutnya qiyas adalah,:


Memperlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebutkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahsa saja.
            Maksudnya, ‘illat yang ada pada satu nash sama dengan ‘illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seseorang mujtahid. Karena kesatuan ‘illat ini, maka hukum dari kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut. Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul piqh klasik dan konterporer diatas tentang qiyas, tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penatapan hukum dari awal (istbat  al-hukum  wa insya’uhu), melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum-hukumnya. Penyingkapan penjelasan  ini dilakukan melalui pembahasan mendala dan teliti terhadap ‘illat dari suatu kasus yang dihadapi. Apa bila ‘illat nya sama dengan ‘illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.
B.     Rukun Qiyas
Para ushul ulama piqh menerapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu ashl  (wadah hukum yang di tetapkan melalui nash atau ijma’) far’u (kasus yang ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid para ashl, dan hukum al-ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijmak),
1.      Ashl (          ), menurut ahli para ushul piqh, merupakan objek yang telah  ditetapkan hukunnya oleh ayat al-Qur’an, hadis rosullah Saw. Atau ijmak misalnya pengharaman wisky dengan mengqiyaskannya ke pada khamar, maka yang ashl itu adalah khamar yang telah ditetapkan hukumnya melalui nash.
2.      Far’u (             ), adalah objek yang akan ditentukan hukumnya yang tidak ada nash atau ijma’ yang tagas  dalam menentukan hukumnya seperti wisky dalam kasus di atas,
3.      ‘Illat  (               ), adalah sifat yang menjadi motiv dalam menentukan hukum, dalam kasus khamar di atas ‘illatnya adalah memabukkan.
4.      Hukum al-Ashl  (                                  ), adalah hukum syara’ yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’ yang akan diberlakukan kepada far’u, seperti keharaman minum khamar. Adapun hukum yang ditetapkan pada far’u pada dasarnya merupakan buah (hasil) dari qiyas dan karenanya tidak termasuk rukun.
C.    Kehujjahan Qiyas
Terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’ terhadap perbedaan pendapat ulama ushul piqh. Jumhur Ulama ushul piqh berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistinbatkan hukum syara’. Bahkan dari itu, syari’ menuntut pengamalan qiyas.Ulama Zhahiriyah, termasuk imam al-Syaukani (ahli ushul piqh) berpendapat bahwa secara logika, qiyas memang boleh, tetapi tetapi tidak satu nash pun dalam ayat al-Qur’an yang menyatakan wajib melaksanakannya argumentasi ini mereka kemukakan dalam menolak pendapat jumhur Ulama yang mewajibkan pengamalan qiyas. Ulama Syi’ah Imamiyah dan an-Nazzam dari muktazilah, menyatakan qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib di amalkan, karena kewajiban mengamalkan qiyas  adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.para Ulama yang membolehkan qiyas sebagai hujjah dalam qiyas itu, tetapi menyingkap ‘illat yang ada pada suatu kasus dan menyamakannya dengan ‘illat yang terdapar dalam nash. Atas dasar kesamaan ‘illat ini, hukum kasus yang dihadapi tersebut disamakan dengan hukum yang yang telah ditentukan oleh nash.
D.    Syarat-Syarat Qiyas
Para Ulam ushul piqh mengemukakan bahwa setiap rukun qiyas yang telah didapatkan diatas harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qiyas dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut
1.      Ashl
Patokan dalam penatapan hukum adakalanya nash dan adakalanya ijmak’ oleh sebab itu, menurut ulama ushul piqh, apabila hukum yang ditetapkan berdasarkan nash bisa di qiyaskan,menurut Imam Al-Ghazali (450-505 H/805-1111M) dan Saipudi al-Amidi (keduanya ahli piqh syafi’iyah), syarat-syarat ashl  itu adalah:
a.       Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan di naskh-kan (dibatalkan),
b.      Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’,
c.       Ashl  itu bukan merupakan far’u dari ashl lainya,
d.      dalil yang mennetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus tidak bersipat umum,
e.       Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas dan
f.       hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.
2.      Hukum Al-ashl
Menurut ulama ushul piqh mengatakan bahwa syarat-syarat hukum Al-ashl adalah:
Tidak bersipat khusus, dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada far’u misalnya, dalam sebuah riwayat dikatakan:
Kesaksian khuzaimah sudah cukup. (H.R.Abu Daud,Ahmad Danbal,al-hakim,al-Tirmidzi dan al-nasa’i)
Hukum al-ashl itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas. Maksudnya, suatu hukum yang ditetapkan berbeda dengan kaidah qiyas, maka hukum lain tidak boleh diqiyaskan kepada hukum itu, hal ini,Wahbah al-Zuhaili, bisa terjadi dalam dua hal, yaitu
1.      Hukum yang ditetapkan itu tidak bisa dinalar (ghair ma’qul al-ma’na), seperti kasus kesaksian Khuzaimah di atas,
2.      Hukum itu merupakan hukum pengeculian yang disyariatkan sejak semula, seperti adanya rukhshah (keringan hukum)bagi musafir dalam menjama’/meng-qasar shalat atau terbuka puasa untuk menghilangkan kesulitan atau seperti menentukan pembayaran diyat pembuuh bagi al-aqilah (keluarga terdekat ‘ashabah pembunuh).
3.      Far’u
Para ulama ushul piqh mengemukakan  empat syarat yang harus dipenuhi oleh Far’u, yaitu:
a.       ‘Illat-nya sama dengan ‘illat  yang ada pada ashl,baik pada nya maupun pada jenisnya.
b.      Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas
·         Pengertian ‘Illat
Secara etimologi ‘illat berarti “nama bagi sesuatu yang menyebabkannya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya” secara terminologi, terdapat beberapa depinisi ‘illat. Yaitu sebagai pengenalan bagi suatu hukum, apabila terdapat suatu ‘illat pada sesuatu, maka hukumpun ada, karena dari keberadaan ‘illat itulah hukum itu dikenal.menurutnya, ‘illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab adanya hukum, dalam arti adanya suatu ‘illat menyebabkan munculnya hukum. Pada dasarnya deinisi yang dikemukan Al-Ghazali ini tidak berbeda dengan depeisi diatas. Akan tetapi, Al-Ghazali berpendapat bahwa pengaruh ‘illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus karena izin allah.
·         Macam-macam ‘illat
Para ulama ushul piqh mengemukakan pembahagian ‘illat itu dari berbagai segi, diantaranya adalah dari segi cara mendapatkannya an dari segi bisa atau tidaknya ‘illat itu diterapkanpda kasus hukum lainnya. Dari segi cara mendapatkannya, ‘illat itu, menurut ulama ushul piqh ada dua macam, yaitu al-illah al-manshushah dan al-‘ilah al-mustanbathah. Al-‘illah al-manshuhah adalah ‘illat yang dikandung lansung oleh nash. Sedangkan al-‘illah al-mustanbathah adalah ‘illat yang digali oleh mujtahid nash sesuai dengan kaidah yang ditentukan dan sesuai dengan kaidah bahasa arab.
·         Syarat-syarat ‘Illat
Para ulama ushul piqh mengemukakan sejumlah syarat ‘illat yang dapat yang dijadikan sebagai sifat yang menentukan suatu hukum. Diantaranya:
1.      ‘Illat itu mengandung motivasi hukum,bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum.
2.      ‘illat  itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang.
3.      ‘illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap edera manusia,karena ‘illat merupakan pertanda adanya hukum.
·         Cara mengatahui ‘illat
Para ulama ushul piqh menetapkan bahwa ‘illat suatu hukum dapat diketahui:
1.      Melalui nash, baik ayat-ayat al-qur’an maupun sunnah Rasullah Saw. Adakalnya ‘illat yang terdapat dalam nash itu bersipat pasti dan adakala ‘illat itu jelas,tetapi mengandung mengandung kemungkinan yang lain.
2.      Cara kedua untuk mengatahui ‘illat suatu hukum adalah melalui ijma’ melalui ijma’diketahui sipat tertentu yang terdapat dalam hukum syara’ yang menjadi ‘illat hukum itu.
3.      Melalui al-ima’wa al-tanbih (                                 ) yaitu pernyataan sifat dengan hukum dan disebutkan dalam lapal. Tetapi ada juga ulama ushul piqh yang menyatakan bahwa penyebutan sifat ini bisa di istinbatkan adapun hukum yang menyertai sifat itu bisa ditetapkan melalui nash dan bisa pula hukum yang ditetapkan melalui ijtihad.
4.      Melalui al-sibr wa al-taqsim (                       ) sibr adalah penelitian dan pengujian yang dilakukan mujtahid terhadap beberapa sipat yang terdapat dalam suatu hukum.

Adapun taksim adalah upaya nujtahid dalam membatasi ‘illat pada satu sifat dari beberapa sifat yang dikandung oleh suatu nash .oleh sebab itu ,dengan cara al-sibr wa al-taqsim kemungkinan berbedanya ‘illat suatu hukum dalam pandangan  orang mijtahid yang melakukannya adalah wajar disebabkan kualitas analisis dan pengujian yang mereka lakukan.
5.      Munasabah  (                    ), yaitu sifat nyata yang terdapat pada suatu hukum, dapat di ukur dan dapat di nalar, merupakan tujuan yang dikandung hukum itu, yaitu berupa pencapaian terhadap suatu kemaslahan atau penolakan terhadap kemudaratan.
6.      Cara ke enam dalam mencari ‘illat adalah melalui tanqih al-munat’ah, (                      ) yaitu upaya seorang mujtahid dalam menentukan ‘illat dari berbagai sipat yang di jadikan ‘illat oleh syari’ dalam berbagai hukum
7.      Al-Thard , (               ) yaitu penyertaan hukum dengan sipat tampa adanya kerasian antara keduanya
·        Pembahagian qiyas
Para ulama ushul piqh mengemukakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi yaitu.
1.      Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan dengan yang terdapat pada ashl.dari segi ini qiyas dibagi ketiga bentuk.
a.       Qiyas al-aula’wi (                                  ), yaitu qiyas yang hukumnya pada furu’lebih kuat daripada hukum ashl, karena ‘illat yang terdapat pada furu’ lebih kuat dari yang ada pada ashl,misalnya, mengqiyaskan memukul kepada ucapan “ah”
b.      Qiyas al-musa’wi (                             ), yaitu hukum pada furu’ sama kualitasnya  dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama.
c.       Qiyas al-adna (                                               ), yaitu ‘illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada ashl.artinya, ikatan ‘illat yang ada pada furu’ sangat lemah dibandingkan ikatan ‘illat yang ada pada ashl.
2.      Dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat pada hukum,qiyas dibagi kepada dua macam.
a.       Qiyas al-jaliy (                                                ), yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan oleh nash tidak menetapkan ‘illatnya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu’
b.      Qiyas al-khafyi (                                 ), yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nash.
3.      Dilihat dari kerasian ‘illat dengan hukum, qiyas terbagi dua bentuk,
a.       Qiyas al-mu’atstsir (                           ),yaitu qiyas yang menjadi penghubung antara ashl dengan furu’ ditetapkan melalui nash sharih atau ijmak atau qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashl dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu sendiri.
b.      Qiyas al-mulaim (                               ), yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashlnya mempunyai hubungan yang serasi.


































BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dapat kita uraikan bahwa qiyas menurut  secara bahasa (arab) qiyas berarti ukuran, mengatahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan suatu dengan orang lain                                                              yang berarti” saya mengukur baju dengan hasta,” pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa depin Para ushul ulama piqh menerapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu ashl  (wadah hukum yang di tetapkan melalui nash atau ijma’) far’u (kasus yang ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid para ashl, dan hukum al-ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijmak), isi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh,sekalipun redaksinya berbeda,






















DAFTAR PUSTAKA

Nasrun haroen.jakarta logos publishing house.ciputat,1996.ushul piqh

Prop.dr.abdul wahab khalaf.gema risalah press.1388H.1968 M.ushul piqh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar